Sabtu, 05 Maret 2011

AREMA DI HATIKU

oleh Arematarinksinga pada 01 Maret 2011 jam 19:27
Ini hanya opini pribadi, sengaja ayas menulis ini untuk intropeksi kita. Mari kita bersama berbenah apa yang masih bisa diperbaiki. Sudah 8 bulan lewat, AREMA memastikan menjadikan juara liga, tetapi euforia itu masih terasa sampai sekarang. Tentu ayas sangat bangga dengan prestasi itu, sudah belasan tahun kita tidak merasakannya. Tetapi sangat miris membaca dan mendengar  berita yang menyebutkan kita sekarang menjadi lebih ‘liar’ (tidak sampai hati rasanya menyebut anarkis), dan sampai sekarang ayas masih berdo’a supaya itu semua hanya kabar burung saja. Jangan terlalu sering berdalih itu hanya segelintir “oknum”, mari kita bersihkan dengan cara yang elegan dan simpati oknum tersebut dari Kota kita tercinta. Bagaimana caranya tidak ada lagi “oknum” diantara kita, karena kita semua saudara.
. Secara kuantitas, memang jumlah AREMA jauh melebihi ketika  ayas ke Senayan 30 mei, tetapi entah ada yang jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Ketika itu pertandingan melawan tim yang sama, yang membelalakkan mata seluruh pecinta bola di Indonesia, AREMANIA yang “hanya” memenuhi beberapa tribun bernyanyi dan menari, yang kesemuanya bertujuan untuk mendukung AREMA tidak ada urusan sama tim atau suporter lain yang tidak bertanding. Saya bukan berarti menuntut sama seperti jaman dulu, tentu semua sudah jauh berbeda, dan memang kita harus terus berubah, ke arah yang lebih baik tentunya
Tetapi kejadian 30 mei yang lalu di senayan, sungguh jauh berbeda. Memang kita tetap bernyanyi (walaupun tidak selama pertandingan), tetapi sebagian nyanyian itu sangat tidak “nyaman” didengar. Kita terlalu ‘sibuk’ mengurusi tim dan suporter lain, seolah kita datang ke stadion bukan mendukung tim kesayangan kita, melainkan untuk melampiaskan kemarahan ke suporter tim lain.. Ayas takut adik-adik dan anak-anak yang menonton menjadi ikut2an, apa jadinya Kota kita Tercinta 10 tahun lagi kalau ongis licek kita racuni dengan RASISME dan benih PERMUSUHAN? Kita sudah pernah mengalaminya beberapa puluh tahun yang lalu di era ketika di Gajayana sering berkumandang “Kalah tawur..! Kalah tawur..!”, semoga tidak pernah terjadi lagi.
Setelah memastikan Juara di Pekan Baru, kota Malang menjadi macet tak kalah dari Jakarta. Puncaknya adalah PESTA RAKYAT, dilanjutkan dengan PERANG BINTANG, menjadikan Malang sangat penuh dengan orang-orang di pinggir jalan. Kalau masalah-nya cuma macet, dan menjadikan beberapa karyawan terlambat ke kantor atau siswa terlambat ke sekolah, mungkin itu hal yang lumrah. Tapi kalau konvoi itu melanggar peraturan, apalagi sampai memakan korban mobil dan orang-orang yang tidak bersalah (bahkan pemain AREMA sendiri, Sam Roni- info dari FB Sam Roni), itu sudah keluar dari jalurnya, itu bukan AREMANIA!. Beberapa teman terus bertanya, tadinya ayas kira itu hanya segelintir oknum saja, tetapi lama-kelamaan semakin banyak yang komplain lewat YM dan Email, atau dari berita dimana-mana tentang bagaimana AREMANIA memukuli mobil berplat L dan D. Memang ayas juga ikut merasakan geram ketika mendengar cerita saudara-saudara kita diperlakukan ketika alat transportasinya melewati jalur2 basis pendukung tertentu. Tetapi ayas yakin, balas dendam plus anarkis bukan jawaban terbaiknya.
Belum lagi cerita tentang Sam Heri yang masih terbaring di Rumah Sakit akibat tour Batavia, apa tidak sebaiknya AREMANIA yang konvoi itu menyisihkan setengah liter bensinnya untuk di sumbangkan ke Sam Hari untuk biaya pengobatan. Mana salam satu jiwa kita? Ketika jiwa lain sedang berjuang menghadapi maut, sedangkan jiwa yang lain berpesta pora. Kalau perlu jangan sampai kita biarkan keluarga sam Hari mengeluarkan uang sedikit pun untuk biaya RS, biar AREMANIA yang sangat BESAR ini yang menanggungnya.
Cerita terakhir yang membuat ayas lebih miris lagi, adalah cerita tentang Sam Ikul, bagaimana diperlakukan. Tidak perlu diperdebatkan siapa yang salah, yang jelas ayas melihat “orang luar” kita perlakukan bagai pahlawan, sementara “orang tua” kita sendiri kita biarkan sengsara. Apa hanya karena orang luar itu menyerahkan PIALA ke kita, sehingga menjadikan kita ‘mengusir’ orang tua kita sendiri?? Ayas bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, hanya AREMANIA yang sedang jauh dari Bumi AREMA, tetapi dalam hati ayas berbisik: “Kalau GELAR JUARA menjadikan kami LUPA DIRI dan ANARKIS serta tidak RESPECT lagi terhadap sejarah dan masa lalu, mungkin lebih baik kami tidak perlu jadi JUARA selamanya”.
Buat kami (atau setidaknya buat ayas), AREMA saja sudah selalu menjadi JUARA di hati.
Salam Satu Jiwa

 ayas  AREMA TARINKSINGA.....


penulis :ARANDA dari  BANGKA....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar